Sabtu, 16 Juli 2011

Cerita Porno Buguru Sunda

Cerita sex ngentot bu guru cantik – Namaku Satria, ini adalah kisah yang baru saja aku alami. Aku adalah siswa dari salah satu SMA negeri terkenal. Saat ini aku duduk di kelas tiga jurusan IPS. Memasuki tahun 2007 berarti persiapan buatku untk lebih serius belajar menghadapi ujian akhir. Aku tahu aku tidak begitu pintar, maka itu aku selalu mencari cara agar guru-guru bisa membantuku dengan nilai. Cara yang aku gunakan adalah selalu mengajukan diri untuk menjadi kordinator pelajaran di sekolah.
Pengalaman menjadi kordinator di kelas tiga inilah yang membawa diriku ke pengalaman yang tak akan pernah kulupakan seumur hidup. Awalnya aku biasa-biasa saja ketika mendengar aku dipilih menjadi koordinator pelajaran Pendidikan Pancasila. Namun lama-lama aku senang karena ternyata bu Sinta lah yang kembali mengajar kelasku. Ya, bu Sinta adalah guru pancasila saat aku kelas 2. Di kelas 2, bu Sinta sering jadi bahan bisik-bisik teman-teman laki2 ku.
Bagaimana tidak, di kelasku itu, meja guru yang menghadap ke arah murid-murid, di depannya biasanya khan tertutup, sehingga kaki guru tidak terlihat dari arah murid, nah, di kelasku mejanya depannya tidak tertutup, jadi setiap guru yang duduk selalu kelihatan kaki dan posisi duduknya. Diantara semua guru, bu Yosi, bu Rahma, bu Tati dan sebagainya, mereka semua sadar akan keadaan meja itu dan sadar bagaimana harus duduk di kursi itu, hanya bu Sinta mutmainah lah yang tidak sadar. Beliau selalu mngajar sambil duduk dan memberikan pelajaran mengenai moral pancasila.
Bu Sinta tidak sadar, jika ia duduk selalu agak mengangkang dan hampir setiap dia mengajar anak-anak cowo selalu memaksa duduk di depan supaya bisa lebih jelas melihat paha bu Sinta dan celana dalamnya yang berwarna krem.
Banyak teman-teman yang diam-diam mengambil foto selangkangan bu Sinta dari bawah meja dengan Handphone, namun hasilnya selalu tidak memuaskan karena gelap. Aku pun termasuk salah seorang dari mereka yang selalu horny lihat paha bu Sinta.
Bu Sinta berusia 43 tahun, dari logat bicaranya, beliau orang sunda. Kulitnya putih agak keriput dan kemerahan. Semakin dia tidak memakai make-up, semakin nafsu teman-temanku melihatnya. Karena kulitnya menjadi agak mengkilat.
Kembali ke ceritaku, aku pun semakin sering berkomunikasi dengan bu Sinta. Dan aku mencari cara agar aku bisa menarik perhatiannya. Sisi positifnya membuat aku terpaksa membaca-baca hal-hal soal moral dan pancasila dan berusaha mencari-cari pertanyaan untuk sekedar aku tanyakan kepada bu Sinta. Ini supaya bisa menjadi alasan untukku lebih dekat dengannya. Jika berbicara lebih dekat dengan bu Sinta, aku lihat dari dekat kulitnya yang putih agak berbintik kemerahan dan keriput sedikit disana sini. Pantas saja bu Sinta selalu memakai bedak karena kulitnya akan mengkilat dan berminyak jika polos. Namun semakin membuatku bernafsu, karena pikiran ku udah terkotori dengan pengalaman saat kelas dua. Semaksimal mungkin kubukat bu Sinta berpikiran bahwa aku adalah siswa yang sangat tertarik dengan apa yang ia ajarkan, walaupun sebenarnya tujuanku adalah dekat dengan dirinya.
Suatu hari aku bertanya apakah aku boleh meminjam beberapa buku mengenai nasionalisme yang sering bu Sinta ceritakan padaku. Bu Sinta bilang boleh saja, kalau mau ke rumah. Yes! akhirnya berhasil strategiku. Bu Sinta memberikan alamat rumahnya yang berada di Perumnas dekat SMA tiga di kotaku.
Malamnya aku tidak bisa tidur, mengatur rencana seperti apa nanti kalau aku di rumah bu Sinta, mudah-mudahan suaminya belum pulang. Besok aku akan ke rumah bu Sinta sepulang sekolah, kudengar suami bu Sinta PNS di departemen pendidikan daerah, mudah-mudahan suaminya belum pulang sekitar jam dua sampai jam empat.
Esoknya sepulang sekolah aku langsung ke rumah bu Sinta. Tak disangka, saat aku sedang menyetop angkot untuk pergi ke rumah bu Sinta, ternyata bu Sinta juga tengah menunggu angkot.
“Eh, Rif, mo krumah ibu? ya sudah bareng saja”, aku senang sekali aku bisa pergi sama bu Sinta. Aku duduk bersebelahan bu Sinta di kursi depan angkot. Ooh, pahaku bersentuhan dengan pahanya yang mulus, aku takut ketahuan kalau penisku sudah mulai mengeras, maka aku tutupi dengan tasku.
Sepanjang perjalanan bu Sinta cerita tentang keluarganya dan terkadang sedikit menanyakan tentang keluargaku. Aku berbohong bahwa aku sudah lama tidak mendapat kasih sayang seorang ibu, karena aku hidup terpisah, lalu aku bilang senang karena aku merasa bisa mendapatkan kenyamanan jika berbicara dan ngobrol dengan bu Sinta, rasanya bu Sinta sudah kuanggap ibu sendiri.
Bu Sinta terharu dan Memegang tanganku!! Kata beliau, beliau senang mendengarnya lagian menurutnya aku anak yang baik. Dalam benakku, ya, aku memang anak “baik”, yang siap menikmati tubuh ibu. Aduh penisku sampai keluar pelumas saat itu, basah sekali.
Dua puluh menit kemudian, sampailah kami di rumah beliau. Ternyata dugaanku benar, tidak ada seorangpun di rumah beliau. Aku dipersilahkan duduk di ruang tamu.
Bu Sinta bilang tunggu sebentar untuk ganti baju. Ganti baju??! dalam benakku aduh ingin sekali aku mengintip beliau ganti baju. Aku deg-degan, mataku mengarah kemana bu Sinta pergi. Beberapa menit bu Sinta keluar. Masih memakai baju gurnya sambil membawa buku. Yah, ternyata hari itu belum waktunya untukku, tapi ini adalah awal dari pengalaman yang sebenarnya.
Sejak itu aku jadi sering ke rmah bu Sinta dan kenal dengan keluarganya. Akhirnya puncak pegalaman ini, saat aku pura-pura menangis sedih frustasi akibat ayahku mau menikah lagi dan aku tidak setuju, karena itu ayahku mengusirku dan tidak boleh pulang ke rumah. Tentu saja ceritanya aku karang sendiri.
Bu Sinta sangat bersimpati padaku, saat aku cerita panjang lebar di rumahnya tidak ada siapa-siapa, bu Sinta saat itu memakai daster dan tanpa make-up duduk disebelaku sambil memegang pundakku. Aku menangis pura-pura, bu Sinta menenangkan ku dengan memelukku.
Mmh, aku menyentuh pinggiran payudara bu Sinta. Akhirnya aku mencium aroma tubuhnya. Aku mempererat pelukanku dan kepalaku aku sandarkan di leher bu Sinta. aku bisa menghirup aroma lehernya. Bu Sinta memelukku erat pula.
Secara nekat kuberanikan diriku untuk mencium pipi bu Sinta secara lembut. Dan bilang kalau aku minta maaf tapi aku merasa cuma bisa tenang jika dekat ibu Sinta. Bu Sinta bilang tidak apa-apa. Aku pun memberanikan mencium pipinya lagi, tapi kali ini lebih dekat ke pinggiran bibir, cukup lama kutempelkan bibirku di pinggiran bibirnya.
Bu Sinta diam saja sambil terus memelukku dan mengelus-elus punggunggu sambil menenangkan. Apakah bu Sinta terasa bahwa penisku yang sudah menegang kutempelkan di pahanya. Ku coba menggesek-gesekkan perlahan penisku ke paha bu Sinta.
Bu Sinta tahu. Namun beliau diam saja. Aku pegang pipi beliau, tentunya air mataku masih mengalir, sambil aku lekatkan bibirku dengan bibirnya sambil berkata “Ibu…”, bibir bu Sinta tidak terbuka, beliau tetap diam, walaupun bibirku bergerak-gerak mencium bibirnya.
Berbarengan dengan itu, aku tekan dan gesekkan terus penisku yang sudah basah ke paha bu Sinta. Kami berdua duduk di sofa. Bu Sinta tahu aku sedang apa dan beliau diam saja, mebiarkan ku beronani dengan menggunakan paha dan bibirnya sebagai media masturbasiku.
Aku gesek-gesekkan terus dan terus, bu Mumun tampaknya memejamkan mata dan tidak berkata apa-apa. OOh pembaca, wajahnya aku ciumi, nafasnya aku hirup, dan pahanya yang besar dan lembut aku tekan-telan dengan penis, gesek terus.. Ooh..terus… Dan akhirnya ouuhh.. Cepat sekali aku ejakulasi.
Aku pun lemas sambil memeluk ibu Sinta yang hampir posisinya setengah tertidur di sofa akibat aku tekan terus. Bu Sinta pelan-pelan bilang, “udah..? hm?”, kata bu Sinta pelan dan terdengar sayang sekali denganku. Aku minta maaf sekali lagi dan bu Sinta bilang ia mengerti.
Tentunya setelah kejadian itu, aku semakin dekat dengan ibu, sampai detik ini.. Suaminya dan teman-temanku tidak tahu hubungan kami. Walaupun aku belum sampai berhubungan seks dengan bu Sinta, namun bu Sinta selalu tahu dan bersedia menjadi media onaniku, dengan syarat pakaian kami masih kami kenakan, bu Sinta hanya menyediakan pahanya dan memperbolehkan aku menindihnya dan menekan-nekan penisku ke paha dekat selangkangannya sampai aku dapat klimaks.
Maka itu, aku selalu membawa celana dalam cadangan saat aku bilang ke bu Sinta kalau aku ingin ke rumah ibu Sinta. Bu Sinta, Satria sayang sama ibu. Biarlah Satria tidak berhubungan seks dengan ibu tapi adanya ibu cukup membuat Satria bahagia. Bisa klimaks di atas tubuh ibu dan mencium bibir ibu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar